- Beberapa saat lalu, kami berkesempatan melakukan training di sebuah bank asing. Perusahaan ini mempunyai budget besar untuk pengembangan, juga percaya pada pelatihan. Otomatis kami mengira bahwa karyawan merasa happy dan sejahtera, apalagi remunerasi, tunjangan dan fasilitas lainnya bersaing, bahkan jauh dari perusahaan lain.
Namun, kami sangat surprised dengan sikap mayoritas karyawannya. Mereka bersikap masa bodoh dan sinis. Seolah-olah, upaya pengembangan yang disediakan perusahaan tidak berguna dan dianggap tidak secara tulus diberikan kepada mereka. Dari beberapa pembicaraan, terkesan bahwa beberapa karyawan yang sudah lumayan senior merasa tidak di”manusia”kan oleh para atasan yang kebetulan adalah orang asing.
“Kami tidak dianggap sebagai professional. Mungkin para atasan merasa bahwa orang lokal memang payah”. "Here they will let us have jobs... but here they do not let us have pride," ungkap salah seorang karyawannya. Bayangkan betapa efek sikap kurang respek ke karyawan ini membawa kontra produktivitas yang sangat besar.
Respek jelas juga tidak akan tumbuh bila karyawan merasakan dibeda-bedakan. Seorang karyawan berkata, “Catering kita makanan lokal, sementara para atasan makan makanan impor dari negara mereka, yang kita tahu ber-budget mahal.”
Dalam perhitungan keuangan di atas kertas, hal ini sebetulnya tentu tidak membawa perbedaan besar. Namun, saat karyawan merasa dirinya tidak direspek, sudah pasti ia enggan berkembang dan tidak bersemangat untuk meningkatkan kompetensinya.
Dengan sikap seperti ini, manajemen semakin tidak menghargai karyawan, dan akhirnya kesenjangan antara manajemen puncak semakin besar dengan karyawan bawah. Tanpa disadari, lingkaran setan berjalan terus. Terpaksa para supervisor dan manajer diimpor lagi dari negara asal, dengan mindset yang sama, dan kesenjangan terpelihara dan "mahal" harganya.
Dalam mengejar target dan berkompetisi kita terkadang lupa memelihara respek. Mengucapkan terimakasih untuk hal-hal yang ringan, menunggu sampai seseorang selesai bicara, tidak memarahi orang seperti layaknya orang yang tidak berguna, adalah hal-hal kecil yang justru punya dampak sangat besar.
Sikap seperti ini tidak butuh biaya mahal, namun jelas bisa menumbuhkan spirit yang akan menghasilkan produktivitas lebih. Saat karyawan menghargai dirinya sebagai profesional, otomatis ia akan menghargai betul pekerjaannnya, dan bahkan tempatnya bekerja. Itu sebabnya, selain pencapaian target, hal penting yang juga perlu diagendakan oleh perusahaan adalah tumbuhnya "self respect" pada diri karyawannya.
"Can you help me?"
Pernahkah kita diminta melakukan presentasi dadakan, di mana kita sendiri tengah mengerjakan banyak hal dengan deadline mendesak? Dalam situasi ini kerap kita terpaksa meminta bawahan untuk mempersiapkan presentasi kita. Sebagai atasan, kita bisa saja langsung memberi instruksi untuk mempersiapkan presentasi tersebut, tidak mau tahu dengan kesibukan bawahan. Kita juga bisa saja menuntut bawahan untuk tidak pulang sebelum selesai.
Sebagai atasan, kita punya hak untuk itu. Namun, tidakkah kita akan membuat bawahan merasa dirinya tidak direspek dan bahwa egonya tidak berharga? Tidakkah kita punya pilihan untuk mengekspresikan kebutuhan kita secara berbeda, agar bawahan bersedia memberi bantuan dengan sukarela dan sekaligus merasa direspek?
Kita sama-sama orang dewasa. Kita kompeten dan berketrampilan. Kita sudah mempunyai harga. Sebesar-besarnya upah yang diterima, kita akan lebih merasa "berharga" bila atasan, dalam setiap perintahnya meminta tolong, bukan? Bila kita bertanya, "Can you help me?", siapa sih yang bisa menjawab "tidak"? Apalagi bila permintaan tersebut diwarnai dengan kerendahan hati dan ketulusan, serta menyiratkan pesan "Kau adalah seorang yang kompeten" melalui sikap merendah dan mengakui kekurangan kita.
Teman saya sangat disukai di pergaulan, karena selalu tidak lupa mengucapkan "terima kasih" kepada siapa pun yang memberi pertolongan, atau dalam menutup pembicaraan. Kita lihat, betapa kata-kata bisa memberi pengaruh baik positif maupun negatif yang cukup signifikan terhadap proteksi ego. Respek datang dari upaya mensejajarkan diri, mewarnai pembicaraan dengan rasa trust dan keterbukaan, juga kritik dari lawan bicara.
Menanam respek melalui “makna” pekerjaan
Seorang manajer restoran yang sukses, selalu menanamkan pada bawahannya, bahwa “kita bukan sekadar menjual makanan”. Ia senantiasa menyampaikan betapa setiap karyawan perlu memberi memori yang kuat tentang restoran dan suasana di sini.
Dengan kompetisi yang begini keras, produk dan servis yang kita sajikan perlu bisa membuat impact dalam kehidupan pelanggan, misalnya saat pakaian yang kita jual dipilih seorang remaja untuk first date-nya. Karyawan “ada” karena mereka harus menebarkan misi perusahaan. Setiap karyawan perlu merasa bahwa mereka “superman” yang bisa menebar pengaruh positif di benak setiap pelanggan.
Inilah alasannya, mengapa kita perlu menekankan bahwa setiap karyawan berharga, dan “smart”, karena mereka pun diharapkan bertenaga ekstra untuk memberikan servis beyond expectations.
Bill Mixon, president of Universal Hospital Services, menekankan bahwa untuk mendapatkan self respect karyawan, kita perlu menunjukkan respek terhadap diri kita sendiri dahulu. Demi merespek karyawan, Starbucks memastikan bahwa tidak ada fasilitas ekstra untuk para eksekutif:
“Semua terbang dengan kelas ‘economy’,” katanya bangga. “All employees are called ‘partners’ and there is no separation in any way of partners and the management team”.
Kita pun bisa menyebarkan rasa percaya yang lebih besar, sehingga rasa percaya berkembang antara satu karyawan dengan yang lain. Kita perlu meyakini benar bahwa upaya me"manusiakan" karyawan, misalnya mendengarkan aspirasi karyawan melalui rapat-rapat terbuka dan membiasakan setiap orang berpendapat, akan lebih cepat dalam meningkatkan produksi.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Belum ada tanggapan untuk "Membuat Karyawan Merasa Direspek"
Post a Comment