- Akses internet yang begitu mudahnya saat ini, menjadikan pengetahuan seolah sudah jadi semurah kacang goreng. Kita mengalami banjir informasi. Tiba-tiba kita merasa lebih “in the know” daripada waktu-waktu sebelumnya. Bahkan banyak ilmu yang dulunya tidak populer, kini menjadi demikian populer, dengan frekuensi informasi yang bertubi-tubi, melalui sosial media, blogs, dan lain-lain. Kita bisa belajar menari, menonton cara memasak, cara membuat sabun, bahkan cara membuat bom dan apapun dalam internet.
Bila beberapa dekade yang lalu orang membayar mahal untuk pergi ke konsultan perkawinan, ahli finansial, konsultan bisnis, sekarang kesemua ilmu itu ada di buku-buku populer, yang ditulis oleh orang yang “tahu”, tetapi tidak terlalu berpengalaman sekali. Kita sudah berada di era “everyday expert” yang sudah tidak bisa dihindari, ditolak, ataupun dilecehkan
Dulu kita kadang mengatakan, “Serahkan saja pada ahlinya”. Namun, pernyataan ini sekarang menjadi kontradiksi, karena kita dihadapkan pada situasi di mana sulit membedakan mana yang benar-benar ahli karena ilmu dan pengalaman, dengan mereka yang menjadi pengamat dan kemudian bisa memberikan kata-kata “cerdas” dan “bertuah” layak ahlinya.
Orang dengan mudah menulis dan mempublikasikan tips. Orang dengan mudah membuat analisa politik. Bahkan, ajang analisa, tanpa proses edit, disediakan oleh harian-harian terkemuka. Fasilitas media sosial, bukan sekadar berubah menjadi ajang penjualan online saja, tetapi juga ajang pengajaran kilat.
Kita tidak bisa mengatakan pembicaraan para "pemula" ini sebagai hal yang ngawur, karena apa yang mereka ulas masuk akal, juga berguna bagi orang yang belum tahu dan membutuhkan. Kita bisa menikmati hasil pengalaman sehari-hari, dan pengkajian individu terhadap beberapa tulisan, menjadi subyek yang menarik.
Dalam sekejap, masyarakat tiba-tiba bisa memproklamirkan seseorang menjadi “ahli”. Memang, dalam era internet seperti ini, “bias” ilmu individu tidak dites lagi oleh penggunanya. Jadilah banyak orang kemudian bisa menjadi “All-Star Adviser”
Kita bisa melihat betapa ahli-ahli yang sebenarnya, menjadi kehilangan pasar karena para amatir sudah "berjalan sendiri". Jalur ekspertis, sudah menjadi singkat secara dramatis. Misalnya saja, gadget canggih yang memberi kemudahan bagi kita untuk memotret dan mengedit foto dalam hitungan detik, membuat “ahli fotografi” kemudian berjamur di mana-mana. Bagaimana kualitas foto yang mereka hasilkan? “Not bad”, kata orang.
Kita sedang menghadapi era dimana para “partial pro” sudah laku dan terpakai. Pertanyaannya, apakah kemudian kita memang tidak perlu lagi mengembangkan keahlian yang mendalam? Apakah organisasi masih membutuhkan individu yang benar-benar ahli di beberapa posisi, atau situasi?
Tidak ada jalan pintas
Kita bisa menyaksikan sendiri, betapa di parlemen, orang yang tidak tahu sama sekali mengenai suatu subyek, mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada eksekutor, yang bukan saja sudah berbulan-bulan menyusun laporan, tetapi juga sudah bertahun-tahun berkutat di bidangnya.
Saat sekarang, terhadap ekspertis pun sudah terjadi demokratisasi. Siapa pun boleh bicara mengenai ilmu apa pun. Melalui internet dan berbagai bacaan, orang-orang awam yang pandai bisa mempelajari ilmu tertentu, misalnya ilmu kedokteran atau bahkan ilmu bedahnya.
Namun, untuk menjadi ahli bedah yang andal, ada proses yang tidak bisa ditawar-tawar. Dibutuhkan jumlah praktek intensif berkualitas untuk bisa mengembangkan keahlian ini. Jadi, kita tetap bisa meyakini bahwa proses menjadi expert, tidak terjadi dalam semalam.
Kita bisa melihat banyak lembaga atau organisasi yang "memelihara" para ahli sampai usia yang terlalu lanjut, tanpa berpikir keras untuk mempersiapkan suksesinya. Ini tentu hal berbahaya pada saat organisasi berkembang. Bisakah kita meng-kloning seorang ahli, misalnya saja salesman yang jagoan, dengan anak muda yang masih mentah?
Keahlian seorang salesman memang nampaknya sederhana, tetapi perjuangannya, pengorbanannya, mawas diri dan proses belajarnya, sampai ia trampil melihat peluang, jago mendekati pelanggan, tahu kapan bertahan harga dan bernegosiasi, tidak bisa dipelajari dalam semalam.
Tidak ada jalan pintas. Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk bisa mengklaim dirinya sebagai ahli, umumnya tidak kurang dari 5 tahun sejak ia pertama berkecimpung di bidangnya. Itu pun dengan perhitungan, ia melakukan praktik secara intensif dan melakukan problem solving secara terus-menerus.
Seorang ahli manajemen menyatakan bahwa setiap organisasi perlu memikirkan untuk membangun kapasitas orang-orang melalui mentoring, yaitu dengan menjadikan para ahli sebagai tempat bertanya, tempat menyelesaikan masalah, dan juga tempat mengembangkan kekuatan perusahaan misalnya “product knowledge”, inovasi, atau servis.
Fokus pada expertis
Adakalanya kita mendengar bisik-bisik para CEO atau pemilik perusahaan: ”Saya tidak tahu harus berbuat apa tanpa dia”, bila membicarakan seseorang dengan keahlian khusus yang sangat dibutuhkan perusahaan.Tentunya ketergantungan ini sangat tidak sehat dan berbahaya. Sampai-sampai Henry Ford pernah menyatakan bahwa sebaiknya tidak ada seorang expert pun di perusahaan.
Pernyataan ini tentu menyesatkan. Bayangkan apa jadinya bila individu tidak memelihara, tidak mempertajam, bahkan menelantarkan keahliannya? Siapa yang akan memberi nilai tambah pada perusahaan? Siapa yang akan mempercanggih lembaga? Tanpa expertis, lembaga akan berhadapan dengan potential loss di depan mata.
Seorang ahli mengatakan setidaknya untuk membentuk seseorang sampai menjadi ahli, ia harus betul-betul masuk ke dalam kegiatan tersebut, dan mengalami pahit manisnya. Sambil mendalaminya, perlu ada tanya jawab yang sangat intensif baik oleh pembimbingnya, maupun oleh yang dilatih.
Mempertajam keahlian bisa dilakukan dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan perlu bersifat diagnostik, dan selalu diarahkan pada problem solving yang empiris. Kiatnya adalah: “OPPTY”: observation, practice, partnering, problem solving, dan taking responsibility.
Ternyata keahlian tidak gampang diwariskan. Perlu ada kegiatan yang serius untuk pengembangan ini. Hanya dengan "mengulik” secara intensif dan mendalam, seorang expert bisa ditumbuhkan.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Belum ada tanggapan untuk "Prinsip "Serahkan Saja pada Ahlinya" Sudah Usang?"
Post a Comment