- Corak yang khas dan umumnya berwarna cerah membuat kain sutra bisa diolah menjadi sejumlah produk kerajinan. Di tangan Diandra Sabrina (24) dan tiga orang temannya, sutra dikreasi menjadi sepatu kasual. Pelanggan produk bermerek ”Ewako Shoes” itu kini tersebar di sejumlah daerah di Tanah Air.
Diandra memulai usaha sepatu dari sutra tahun 2010 bersama ketiga sahabatnya, Nadia Novira (24), Putri Utami (23), dan Erny Rasulong (23). Kala itu, mereka mendapat bantuan modal Rp 15 juta dari Universitas Hasanuddin (Unhas). Konsep memadukan kain khas Sulawesi Selatan dengan desain sepatu yang modis terpilih menjadi salah satu usaha prospektif dalam pekan wirausaha di kampus mereka.
Apalagi, penggunaan motif khas suatu daerah dalam berbagai produk tengah menjadi tren saat itu. Bisnis sepatu kasual dipilih karena empat sekawan itu sepakat perempuan umumnya memiliki lebih dari dua pasang sepatu. Adapun nama Ewako berasal dari bahasa Bugis yang artinya berani.
Corak sutra pada desain sepatu Ewako dibuat sederhana untuk menghilangkan kesan resmi dan mewah. Model sepatu dipilih yang kasual dan santai agar dapat diterima semua kalangan, terutama remaja putri.
Diandra dan kawan-kawan pun segera menyiapkan sarana yang dibutuhkan agar semua ide itu terwujud. Minimnya tenaga perajin sepatu di Makassar tak menjadi penghalang. Mereka getol mencari pembuat sepatu yang andal hingga ke Jakarta dan Bandung. Setelah beberapa kali ganti perajin, mereka akhirnya cocok dengan hasil karya salah satu pembuat sepatu di Bandung.
Adapun bahan baku sutra dipasok oleh salah satu pedagang di Makassar. ”Namun, kami juga tidak sembarang memilih pemasok demi mendapat sutra asli dari Kabupaten Wajo,” ungkap Diandra. Wajo merupakan salah satu sentra penghasil sutra di Sulsel. Makassar menjadi etalase pemasaran hasil tenunan sutra dari ratusan perajin di Wajo.
Model sepatu disesuaikan dengan yang umum di pasaran saat ini. Ada jenis loafers dan flat (sepatu tanpa hak) yang nyaman dipakai sehari-hari hingga model wedges (hak terbentang di sepanjang alas sepatu) yang sederhana tetapi elegan. Belakangan, jenis sepatu sandal turut diproduksi Ewako.
Agar tak terkesan monoton, penggunaan corak sutra dibuat bervariasi. Ada sepatu yang seluruh bahannya dari sutra, tetapi tak sedikit pula yang dipadukan dengan bahan lain, seperti kulit, beludru, dan jins. Khusus sepatu jenis wedges, motif sutra dipasang di bagian hak yang ketebalannya sekitar 7 sentimeter. Motif sutra yang digunakan kebanyakan berwarna cerah supaya tampak menarik.
Selama tiga tahun berbisnis, Diandra dan kawan-kawan telah menghasilkan puluhan desain sepatu. Varian itu merupakan gabungan ide orisinal dengan inspirasi dari beragam model sepatu yang ada di internet. ”Kebetulan kami berempat penggemar sepatu sehingga masing-masing punya banyak referensi untuk desain,” kata Diandra yang tengah menempuh program pendidikan profesi di Fakultas Kedokteran Unhas ini.
Berbeda dengan Diandra, ketiga sahabatnya memilih pindah ke Jakarta setelah lulus sarjana dari Jurusan Teknik Elektro Unhas tahun lalu. Nadia mengambil pascasarjana di School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB), sedangkan Putri melanjutkan studi Teknik Elektro di Universitas Indonesia. Adapun Erny bekerja di salah satu perusahaan operator seluler.
Bagi Diandra, kondisi itu dianggap menguntungkan karena ketiga sahabatnya itu lebih mudah mengontrol pembuatan sepatu di Bandung. ”Aku bertugas memilih bahan baku sutra dan mengirimkannya ke perajin sepatu,” ujarnya.
Demi menjaga eksklusivitas produk, sepatu Ewako hanya dibuat satu pasang untuk setiap ukuran mulai dari 36 sampai 40. Sebuah model baru akan direproduksi apabila banyak peminatnya.
Sepatu tanpa hak dijual Rp 225.000 per pasang, sedangkan untuk sepatu jenis wedges Rp 245.000. Harga itu belum termasuk ongkos kirim karena sepatu Ewako hanya dapat dibeli melalui internet. Calon pembeli dapat melihat berbagai produk sepatu di situs Ewako dan sejumlah jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.
Katalog sepatu Ewako tersaji secara lengkap di Instagram yang memang didesain khusus untuk menampilkan foto-foto sang pemilik akun. Sejumlah artis, seperti Dea Ananda dan Risty Tagor, pun turut memajang foto mereka mengenakan sepatu Ewako di akun Instagram. Adapun mekanisme transaksi produk dapat dilihat di situs Ewako.
Selain melalui jejaring sosial, pemasaran sepatu Ewako juga dilakukan lewat sejumlah pameran. Pada tahun 2011, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sulsel mengundang Ewako ikut dalam ajang pameran Femme.
Sepatu Ewako kembali terpilih mengikuti pameran seni dan kerajinan khusus perempuan itu yang berlangsung 3-7 April 2013 di Makassar. Selama pameran, sedikitnya 15 pasang sepatu terjual. ”Ternyata antusiasme orang Makassar cukup tinggi. Semoga mereka ikut memasarkannya dari mulut ke mulut,” kata Diandra.
Teknik pemasaran itu rupanya efektif menjaring pembeli. Pelanggan sepatu Ewako kini tak hanya terpusat di Pulau Jawa, tetapi tersebar dari Medan, Balikpapan, hingga Jayapura. Rata-rata 50 pasang hingga 60 pasang sepatu terjual dalam sebulan.
Menurut Diandra, pihaknya berencana membuka gerai seperti toko sepatu pada umumnya. Namun, salah satu kendala terbesar untuk mewujudkan hal itu adalah minimnya perajin sepatu di Makassar. Itu sebabnya, dalam waktu dekat, Ewako berencana memberi kesempatan kepada beberapa pembuat sepatu di Makassar untuk menimba ilmu di Jakarta atau Bandung.
”Kami ingin jika suatu saat buka toko, produksi sepatu sudah dilakukan di Makassar. Selain lebih menjamin stok sepatu, biaya operasional pun bisa lebih murah,” ungkap Diandra.
(Aswin Rizal Harahap)
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ewako, Sepatu "Candy" dari Kain Sutra"
Post a Comment