- Ini patungan ala sosialita Jakarta. Caroline Zachrie, Gladys Suwandhi, bersepuluh dengan rekannya bersekutu membuat resto penyaji masakan Thailand. ”Kebetulan kami ini semua demen masak dan doyan makan,” kata mereka.
”Pokoknya harus coba beef three flavor sauce, green curry, red curry, dan coconut pancakes,” itu pesan Caroline Zachrie.
Dan Jumat sore lalu, menu yang dipamerkan Caroline itu tersaji di Yumm Thai, sebuah resto penyaji masakan Thailand di bilangan Jalan Senopati, Jakarta Selatan. Ternyata banyak pilihan. Three flavor sauce, hidangan dengan tiga rasa asam, manis, pedas itu, menyediakan pilihan bahan berkalori, yaitu daging sapi, ayam, seafood, dan tofu alias tahu. Rasanya unik. Tiga unsur rasa menyatu padu: pedasnya cabe tidak terlalu garang, rasa manis tidak mendominasi, ada asam-asam dari nanas yang menjaga keseimbangan. Ada sensasi rasa meriah di lidah.
”Gimana rasanya. Kalau ada yang kurang-kurang kasih tahu lho...,” tanya Denisa Suwandhi, adik dari Gladys Suwandhi itu, menunggu komentar.
”Eh, nuwun sewu, nyicipin chilli and basil chicken juga ya. Enak banget,” kata Indra Wihodo, ibu muda yang ramah. Ia menyarankan hidangan ayam dengan kuah beraroma daun basil serta cabe dengan tingkat kepedasan ringan. Sentuhan rasa daun jeruk menjadikan ayam dan kuahnya berasa nyaman di lidah.
”Coba yang ini juga ya, ayam pandan,” tawaran masih datang dari Indra, salah satu dari sepuluh pendiri Yumm Thai. Indra mengerti setiap detail menu berikut cara masaknya. Ayam pandan itu berupa ayam yang dibungkus daun pandan kemudian digoreng bersama pandan pembungkusnya itu.
”Sebelum dibungkus pandan, ayam dibumbui dengan ketumbar, kecap thailand, herbs, lalu di-marinated,” kata Indra tentang ayam berasa gurih dengan aroma pandan yang sedep itu.
Jalinan perkawanan
Begitulah suatu sore aneka rasa masakan Thailand terhidang di resto mungil itu. Rumah makan yang dibuka pada Desember 2012 itu dibangun di atas semangat perkawanan. Fathia Syarif, Gladys Suwandhi dan adiknya, Denisa Suwandhi, telah berkawan lebih dari 25 tahun. ”Kami berkawan sejak masih remaja, dari SMP,” kata Denisa yang oleh kawan-kawannya disapa Deden.
Perkawanan itu bercabang-cabang, lalu membentuk tali-temali persahabatan memanjang. Dari jalinan panjang itu, ada sepuluh orang yang sepakat membuka usaha resto. Mereka adalah Fathia, Gladys, Denisa, Caroline, Indra, Novi Ariwibowo, Avi Kurwet, Nadia Hastarini, plus dua cowok Ariadi Abimanyu dan Harry Nazarudin. ”Minimal di antara kami ini sudah berteman sepuluh tahun,” kata Fathia.
Masing-masing awak dari sepuluh perkawanan itu menebar jejaring perkawanannya menjadi pelanggan resto mereka. ”Kami sering bertualang untuk mencari dan menikmati berbagai macam jenis masakan,” kata mereka.
Sebagian dari mereka juga berhobi masak-memasak. Salah satunya Gladys Suwandhi. ”Di rumah, suami aku enggak mau kalau yang masak orang lain. Jadi, ya mau tak mau, aku harus memasak,” kata Gladys yang di pertengahan era 1980-an populer sebagai pemain film seperti Pernikahan Dini (1987) dan Yang Masih di Bawah Umur (1985).
”Tapi aku sebenarnya selalu bermimpi punya restoran. Bahkan sekitar 13 tahun lalu aku dan suami pernah punya ide untuk bikin resto, tetapi enggak pernah kejadian. Omong doang, ha-ha-ha...,” kata Gladys yang akhirnya menemukan kawan-kawan untuk mewujudkan impiannya.
Perigel
Mereka adalah perempuan-perempuan yang perigel. Orang-orang yang sigap, terampil, dan cekatan bekerja. Fathia sebelumnya sudah mempunyai usaha rumah makan Bagel Bagel di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Fathia berkongsi dengan Indra Wihodo membuka Madeleine Bistro. Indra dan Harry Nazarudin bekerja sama mengelola resto Ichi no Hachi Japanese Fusion. Fathia lalu menggagas membuat resto penyaji masakan Thailand dengan menggandeng sepuluh rekannya.
Tak semua bergerak di bidang usaha rumah makan. Avi Kurwet (Kurwet ini nama gaul, bukan nama asli) punya usaha di bidang penghelat acara (event organizer). Gladys bersama suaminya menjalankan perusahaan periklanan. Denisa adalah seorang direktur komunikasi pemasaran sebuah perusahaan ritel.
Mereka berbagi tugas. Fathia memikirkan pengembangan usaha. ”Lagi cari-cari lokasi untuk buka dua cabang neh...,” kata Fathia.
Indra memegang bagian operasional yang sehari-hari mengelola jalannya Yumm Thai. Selain berpengalaman mengelola resto, Indra memang mempunyai rekam jejak panjang bekerja di bagian food and beverage sebuah hotel bintang lima. ”Beruntung juga saya dulu kerja di hotel, sekarang kepakai he-he-he,” kata Indra yang lulusan Jurusan Administrasi Negara, FISIP, Universitas Indonesia, itu.
Nadia, Avi, dan Novi mengurus marketing. Harry dan Ariadi menangani media sosial dan desain. Caroline dan Gladys juga mengurus kehumasan.
”Saya yang jualan he-he-he...,” celetuk Gladys, yang bersama Denisa menangani branding dan hubungan dengan media.
Ketika berkumpul, perempuan-perempuan yang berusia antara 30-an sampai awal 40-an itu terasa seru dengan canda, celoteh, dan tawa. Mereka diikat dalam satu hobi yang sama, yaitu bertualang memburu makanan enak. Membuka rumah makan merupakan kepanjangan hobi yang dijalani dengan sungguh-sungguh. ”We do it as a business, artinya bukan main-main,” kata Novi.
”Ya, dari yang main-main (hobi) itu harus ada hasilnya, ada duitnya,” kata Denisa tentang menyatunya hobi dan profesionalitas dalam Yumm Thai.
Serasa bersantap di rumah kawan
Memasuki Yumm Thai rasanya seperti bermain ke ruang makan di rumah kawan: ramah dan kasual. Ruang yang relatif kecil tidak memberikan kesan sempit, tetapi malah memberikan suasana akrab serta rileks. Bangku-bangku dan meja makan dari kayu terasa tidak kaku. Dinding berwarna cerah dengan gambar gajah sebagai penanda Thailand membawa suasana tidak formal.
Masakan Thailand menjadi pilihan Fathia, Gladys, dan kawan-kawannya karena dekat dengan lidah orang Indonesia pada umumnya. Selain itu, resto Thailand di Jakarta masih dirasa kurang dibandingkan dengan resto Jepang atau China.
Mereka lalu mengonsep rumah makan dengan suasana yang tidak formal ataupun semiformal. Mereka memilih suasana kasual. Indra menyebut konsep Yumm Thai sebagai fast casual. Mereka menjaga kualitas masakan dengan menyiapkan hidangan segar, bukan masakan siap saji atau fast food.
Mereka mengusung konsep masakan sehat, yang mereka sebut sebagai freshly made to order—dimasak segar-segar sesuai pesanan. Akan tetapi, mereka siap menyajikan dengan cepat. ”Dalam waktu sembilan menit pesanan sudah terhidang di meja,” kata Indra.
Soal harga pun mereka merancang harga yang kira-kira para karyawan di sekitar kawasan SCBD atau perkantoran di sepanjang Sudirman-Thamrin bisa menyantap masakan Thailand setiap hari. ”Tagline kami adalah Everyday Thai, Your Way. Pelanggan dapat memilih set menu yang dapat dibangun sesuai selera masing-masing,” kata Indra.
Mungkin karena pemilik resto suka makan dan dibangun di atas perkawanan, makan di resto milik para sosialita serasa bersantap di rumah kawan.
(Frans Sartono)
Belum ada tanggapan untuk "Bisnis Patungan ala Sosialita Jakarta"
Post a Comment