- Rini Sugianto (33) terlihat nyaman berada di tengah keriuhan kampus sekolah teknik audio SSR di kawasan Jakarta Barat. Perempuan yang kini tinggal di Wellington, Selandia Baru, itu menjadi dosen tamu studi animasi di kampus ini.
Rini jelas bukan penggemar riasan wajah. Toh, ia santai saja membiarkan seorang kawan di kampus itu memerahkan bibirnya, memberi rona di pipi, dan juga mempertegas garis matanya. Foto yang paling banyak ia simpan adalah jepretan kameranya sendiri merekam pemandangan lingkungan, bukan potret dirinya. Meski begitu, sesekali berpose dengan senyum manis tentu boleh juga.
Lalu, Rini memulai cerita. Dua tahun lalu, sebuah perusahaan animasi di Selandia Baru, Weta Digital, mengontrak Rini untuk menghidupkan tokoh- tokoh komik Tintin dengan teknik animasi. Ternyata bakat dan kemampuan Rini mengesankan Weta.
Beranjak sebagai animator dalam film dari The Adventures of Tintin (2011) yang disutradarai oleh Steven Spielberg, Rini bersama sejumlah animator dari sejumlah negara yang bekerja di Weta menjadi ujung tombak untuk proyek berikutnya. Ia harus memastikan para superhero, seperti Iron Man, Hulk, dan Captain America, mampu beraksi memukau dalam The Avengers.
Kemudian, ia pun ikut menggiring Bilbo Baggins dari desa para hobbit nan indah permai ke Gunung Sunyi yang dikuasai sang naga Smaug dalam The Hobbit: An Unexpected Journey (2012). Kini Rini sedang mengerjakan dua sekuel film besutan sutradara kondang Peter Jackson itu.
Menjadi animator adalah mimpi Rini. Tak mudah jalan yang ia tempuh untuk membuat mimpi itu menjadi kenyataan. Di situ ada jam-jam kerja panjang demi menepati tenggat waktu.
Rini memulai dengan mempelajari pengetahuan animasi paling mendasar dan mengerjakan hal-hal yang bagi sebagian orang lain dianggap sepele. ”Ini kerja keras dan tidak bisa pilih jalan pintas.”
Banting setir
Rini melewatkan masa kecil di Lampung dengan keluarga berlatar pebisnis. Sejak remaja, ia belajar menentukan pilihan dan bertanggung jawab dengan pilihannya. Ketika orangtuanya pindah dari Lampung ke Jakarta, Rini memilih tinggal sendiri di Bogor, Jawa Barat, untuk menyelesaikan SMA di ”Kota Hujan” itu. Ia juga yakin, masa depannya bukan menjadi pengusaha. ”Aku suka komputer dan seni.”
Untuk menemukan titik temu dari dua minat itu, Rini pun memilih kuliah arsitektur di Universitas Parahyangan, Bandung. Di sana ia berkenalan dengan program tiga dimensi dan mulai jatuh hati pada animasi. Namun, pada 2000-2001, animasi belum menjadi topik studi serius di Indonesia. ”Rasanya waktu itu tidak pernah dengar juga ada pekerjaan sebagai animator.”
Selesai kuliah ia pun menjajal dunia kerja desain arsitektur. Ternyata ia justru menemukan bahwa bakat dan hasratnya bukan di sana. ”Saya merasa lebih percaya diri bekerja dengan komputer daripada ketika mengerjakan bangunan beneran. Kalau proyek arsitektur kan mesti bisa dibangun, mikir biaya, harus realistis,” ujar Rini. ”Di komputer, berkreasi itu tak berbatas. Saya suka kebebasan itu.”
Kemudian, Rini memutuskan hijrah ke San Francisco, Amerika Serikat, untuk melanjutkan studi animasi. Meski sempat bingung dan tak bisa membayangkan dunia seperti apa animasi itu, orangtuanya berpikiran terbuka dan mendukung keputusan Rini.
Animasi dan arsitektur memang dua hal yang amat berbeda. Namun, bagi Rini, kedua hal itu menuntut cara kerja otak yang sama. ”Sama-sama perlu observasi. Kalau arsitek biasanya riset soal bangunan, sekarang saya riset soal orang.”
Bukan hanya bagaimana tempo dan cara gerak yang diperhatikan Rini, karakter tokoh yang ingin ia ciptakan pun mesti didalami. ”Anak muda yang percaya diri misalnya, gerakannya pasti tegas. Sementara yang pePGEgaHJlZj0iaHR0cDovL2FkaXByYW1hbmEuY29tLzIwMTIvMTEvZHViYWktZGFwYXQtYmFuZ3VuLW1hbC10ZXJiZXNhci1kaWR1bmlhLmh0bWwNIiB0YXJnZXQ9Il9ibGFuayIgcmVsPSJub2ZvbGxvdyI+bWFsPC9hPg==u, gerakannya pelan-pelan dan tersembunyi.”
Sebelum menamatkan tiga tahun studi animasi, Rini sudah menentukan pijakan pertama kariernya sebagai animator. Ia magang dan kemudian bekerja penuh di sebuah perusahaan pembuat sinematik (film trailer untuk game). Kariernya berkembang sejalan proses belajar yang terus ia lakoni di dunia kerja.
Pada 2008-2010, Rini sudah memegang tanggung jawab sebagai animator penyelia di Studio Blur, Los Angeles, AS. Ia membawahi sejumlah animator dan memastikan karya animasi mereka sesuai yang diinginkan klien. Berikutnya, ia pun memulai petualangan di jagat perfilman Hollywood.
Soal animasi, cita-cita Rini yang kini ia rintis adalah membagi ilmunya, antara lain dengan memberi kursus online. Kata Rini, salah satu resep belajarnya adalah membuka diri untuk menerima kritik. Cukup bijak karena banyak orang marah kala dikritik.
Tujuh puncak dunia
Di luar dunia animasi, Rini Sugianto punya impian lain, yaitu mendaki tujuh puncak tertinggi dunia bersama sang suami, Brandon Riza. Keduanya sama-sama menggeluti dunia kreatif tetapi berbeda aliran. Brandon yang berkewarganegaraan Amerika Serikat ini seorang spesialis efek film.
”Jadi, saya membangun sesuatu dengan animasi, sedangkan Brandon menghancurkan segalanya dengan efek ledakan,” ujar Rini.
Meski begitu, Brandon menyemangati Rini mewujudkan hasrat yang sempat terpendam—ditelan kesibukan studi dan pekerjaan—yakni menjelajahi alam raya dan naik gunung. Bersama Brandon, ia sudah menggapai puncak tertinggi di Benua Afrika: Kilimanjaro. ”Brandon sudah dapat empat puncak tertinggi, saya baru satu. Mudah-mudahan kami bisa menyelesaikan tujuh puncak dunia itu sama-sama.”
Setiap kali turun gunung, Rini merasa ia seperti mendapat suntikan energi baru untuk melakoni hari-hari yang penuh tuntutan pekerjaan. Kini, Rini sedang mempersiapkan kondisi fisik untuk mendaki Mont Blanc di Perancis, Agustus mendatang.
Saat ini, Rini dan sang suami yang ia nikahi tahun lalu itu mesti tinggal berjauhan, karena Brandon masih bekerja di Los Angeles, AS. Namun, situasi itu tak terlalu bermasalah buat keduanya. Mereka sama-sama tahu, sebagai animator, Rini memiliki mobilitas tinggi.
”Biasanya kami kerja by project,” ujar Rini. Jadi, keasyikan tersendiri buat Rini dan Brandon, untuk selalu menemukan saat berjumpa. (DAY/INE)
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Rini Sugianto: Menjelajah bersama Tintin"
Post a Comment