- Ibu yang suka menulis merupakan salah satu tanda ibu yang suka membaca. Meski ada juga kemungkinan ibu yang suka menulis namun jarang membaca. Ibu yang suka membaca menjadi gudang ilmu bagi anaknya. Ibarat sekolah sebagai pusat belajar bagi anak mengenai banyak hal, maka ibu adalah guru yang mengajarkan banyak ilmu. Karena itu, ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya di mana seharusnya anak mendapatkan lebih banyak ilmu di awal mereka belajar.
Ibu yang suka menulis sekaligus hobi membaca dapat menjadi tempat menumpahkan dahaga anak yang serba ingin tahu. Bayangkan bila di tengah dahaganya, anak yang sedang kritis, mereka tidak mendapatkan pencerahan atau tidak mendapatkan apa yang ingin diketahunya. Apa yang akan terjadi? Ada dua hal:
Pertama, anak akan bosan bertanya pada sang bunda karena selalu mendapatkan jawaban, "eeeeeeemmmm" dengan kening mengerut atau "Bunda tidak tahu". Ketika pertanyaan anak tak terjawab, maka keingintahuannya melemah. Anak akan malas bertanya lagi pada ibunya. Akhirnya mengubah haluan bertanya pada dirinya sendiri bukan lagi pada ibu.
Kedua, anak mulai mencari tahu dengan caranya sendiri. Ini bisa dilakukannya dengan membaca atau paling cepat bertanya pada temannya. Nah, bagaimana bila temannya sama-sama tidak tahu? Tentu anak akan bingung. Lalu bagaimana jika temannya sok tahu dan memberikan jawaban salah? Anak akan menjadi salah mengartikan. Mereka mendapatkan jawaban yang salah sehingga akhirnya menghasilkan persepsi yang juga salah. Hal inilah yang kerap terjadi di dunia anak.
Anak mau tahu dan ibu serba tahu
Kebiasaan menulis dan membaca seorang ibu akan membuat anak terbiasa dengan pemandangan keseharian ibu yang positif. Apa yang ibu baca akan memunculkan keingintahuan anak, "Ibu sedang baca apa?" Lantas ibu akan menerangkan dengan cara yang menarik.
Jadi, aktivitas ibu suka menulis bukan hanya menumpahkan ilmu dan keingintahuan ibu sendiri akan sesuatu. Hal ini juga berdampak pada anak yang semakin kritis bertanya. Karena anak ibaratnya memeroleh gizi dari setiap jawaban yang diberikan ibu.
Semakin anak ingin tahu dan mulai bertanya ini-itu, ibu pun tak kalah serunya menjawab pertanyaan anak dengan cara yang menarik. Hubungan antara ibu dan anak menjadi interaktif dan terjadilah simbiosis mutualisme. Anak akan bertanya apa saja dan ibu juga akan menjawabnya dengan cara yang berkelas. Anak menjadi kritis! Anak yang kritis ini merupakan cerminan dari kritisnya sang ibu.
Meski ibu gudangnya ilmu namun tak semua ilmu ibu ketahui. Pada ibu-ibu yang doyan nulis, ketika ada pertanyaan anak yang tidak diketahui jawabannya, ibu tidak mudah panik atau grogi, misalnya saat anak bertanya tentang seks. Ibu yang berwawasan akan menjawabnya lebih cerdas, misalnya, "Baiklah, kita cari sama-sama, yuk, jawabannya di buku atau di google." Akhirnya, ibu dan anak pun akan belajar bersama mencari jawabannya.
Pola ini lebih baik dibandingkan ibu yang sok tahu dengan menjawab semua pertanyaan anak meski jawabannya salah. Hal ini tentu akan menyesatkan.
Ibu kritis, anak pun kritis
Ibu yang tidak menulis bukan berarti anaknya menjadi tidak kritis. Anak tetap bisa menjadi kritis karena memang di usianya rasa ingin tahunya sangat melangit. Ibu yang tidak suka menulis tetap dapat membuat anaknya kritis jika ibu mampu menjawab apa pun pertanyaan anak.
Sekalipun pertanyaan-pertanyaan anak kelihatannya sepele atau terlalu sulit dijawab dan seringkali membuat ibu merasa jengkel. Misalnya, "Kenapa kalau siang itu terang?" atau "Darimana asalku?" Hal ini sebetulnya sesuai dengan teori psikologi perkembangan anak. Bisa dilihat dari se-kritis apa anak menyampaikan isi pikirannya melalui kata apa dan mengapa. Mereka sedang melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan.
Adakalanya ketika anak mengajukan pertanyaan kritis, kerap kali kondisinya tak matching dengan orangtua. Misalnya, anak memberikan pertanyaan dengan kata mengapa, sementara kondisi ibu sedang lelah atau bosan sehabis mengurus rumah. Bisa jadi ibu tidak tahu harus menjawabnya. Akibatnya, bukan jawaban yang diperoleh anak, melainkan anak mendapatkan luapan emosi sang ibu. Akhirnya, sikap kritis anak berubah haluan menjadi "pertanyaan yang menumpuk di kepala".
Jadi, dalam hal ini untuk kritis harus ada dua orang, yaitu ibu dan anak, bukan hanya salah satu pihak saja. Anak harus memiliki tempat nyaman untuk bertanya dan ibu juga bisa nyaman berbagi ilmu yang ada dalam pikirannya. Anak yang kritis akhirnya akan bertemu ibu yang kritis. Inilah yang membuat anak akan terus teransang mengembangkan sikap kritisnya didampingi sang ibu. Luar biasa, bukan?
(Tabloid Nakita/Indari Mastuti, penulis buku Mompreneur dan pendiri Komunitas Ibu Doyan Nulis)
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ibu Menulis Anak Kritis?"
Post a Comment